Acara pernikahan chio-thou diselenggarakan dalam tradisi kuno masyarakat China Benteng. Tradisi per-kawinan chio-thau juga dilakukan oleh warga Tionghoa di Padang dan sekitarnya. Chiou-thau adalah istilah umum bagi suatu upacara pernikahan yang unik dan langka.
Secara harfiah, chiou-thau berarti "mendandani rambut" - sebuah ritual pelintasan (rite of passage) yang harus dilaksanakan sebagai pemurnian dan inisiasi memasuki masa dewasa. Upacara ini sangat sakral dan hanya boleh dilakukan sekali seumur hidup sesaat menjelang pernikahan. Seorang duda atau janda yang menikah lagi tidak diperkenankan rnelakukan ritual ini untuk kedua kalinya. Dalam tafsir lain, mereka yang belum menjalani chiou-thau dianggap masih anak-anak.
Menurut David Kwa, ahli sejarah Tionghoa yang menjadi konsultan acara ini, di masa lalu pasangan yang tidak menjalani chiou-thau dianggap akan melahirkan anak-anak haram. Begitu tingginya makna upacara mendandani rambut.
Pukul enam pagi, ritual ini sudah dimulai di rumah mempelai perempuan. Dengan upacara sederhana yang berlangsung polos - artinya, dengan bahasa sehari-hari dan berlangsung sangat wajar, termasuk kesalahan-kesalahan karena dilakukan tanpa general rehearsal - orang tua mempelai melakukan sembahyang di depan rumah, dan menyerahkan anak gadis mereka kepada juru rias untuk didandani. Juru riasnya pun tampil sangat sederhana. Musik tradisional pat tim (artinya, delapan instrumen) yang terdiri atas instrumen gesek, tiup, dan perkusi mengiringi acara ini. Bunyi instrumen tiupnya sangat mirip dengan bagpipe dari Irlandia yang mendayu-dayu.
Pengantin yang cantik keluar dari kamar dengan baju dan celana satin putih dan rambut tergerai. Ia didudukkan di kursi rias. Secara simbolis rambutnya disisir oleh adik pengantin. Kemudian rambut itu "disubal" dengan cemara (rambut palsu) dan digulung menjadi bola rambut di atas kepala pengantin. Di atas bola rambut itu kemudian ditusukkan 25 tusuk konde bermotif floral dan burung hong (phoenix). Burung hong adalah ratu semua unggas. Karena pengantin selalu dianggap sebagai raja sehari, maka pengantin perempuan memakai lambang ratu (burung hong), sedangkan pengantin laki-laki memakai lambang raja (naga). Setelah selesai merias rambut, jubah atau baju luar untuk pengantin dikenakan. Jubah ini berwarna hijau dan merah dengan sulaman dan ornamen hias dari logam warna perak bermotif kura-kura, bunga, kupu-kupu, ikan, kepiting, rusa, buket bunga, dan sebagainya. Wajah pengantin juga ditutup dengan kerudung dari kain transparan berwarna hijau.
Makan 12 mangkuk
Acara selanjutnya adalah bersantap dengan 12 jenis lauk yang masing-masing diletakkan dalam mangkuk porselin. Pengantin wanita didampingi dua orang saudara laki-laki yang belum menikah dan sebaiknya dari shio naga dan macan. Makanan dalam 12 mangkuk itu melambangkan kesinambungan rezeki dalam tiap-tiap bulan selama setahun. Rasa masakan juga berbeda-beda: asin, manis, pahit, tawar, pedas, gurih, berlemak - untuk menyiapkan pengantin bahwa tidak selamanya mereka menghadapi kondisi menyenangkan sepanjang usia pernikahan mereka.
Setelah rangkaian acara mendandani rambut di rumah pengantin perempuan selesai, sang jururias diantar ke rumah pengantin laki-laki untuk melakukan ritual yang sama. Di masa lalu kaum laki-laki juga memakai rambut panjang yang dikuncir. Tetapi, karena di masa sekarang pengantin laki-laki kebanyakan berambut pendek, maka upacara penyisiran menjadi lebih mudah dan singkat. Apalagi karena tidak diperlukan berbagai tusuk konde.
Sebelumnya, sambil menunggu kedatangan sang jururias, para tamu di rumah pengantin laki-iaki dijamu dengan berbagai jenis kue tradisional yang masing-masing mempunyai makna simbolis. Misalnya, harus ada kue pepe, yaitu kue lapis dari tepung beras yang mengharap agar pasangan pengantin bisa lengket terus sampai kakek nenek.
Kue lapis legit sebagai pengharapan akan rezeki yang berlapis-lapis. Kue mangkok yang mekar melambangkan rezeki dan cinta yang terus mekar. Kue ku berbentuk kura-kura sebagai lambang panjang umur. Ada lagi ketan tetel yang dicocol dengan serundeng ebi, dan apem cukit yang dicocol dengan kinca duren. Kue tradisional lainnya termasuk lapis legit, roti bakso, manisan kolang-kaling, bika ambon, kue bugis, dan kue pisang.
Setelah pengantin laki-laki mengenakan jubahnya dan memakai topi yang berbentuk caping petani, para sanak keluarga memberi hadiah berupa uang yang diharapkan akan menjadi modal awal dalam menempuh bahtera keluarga. Setelah acara saweran ini, dilakukan juga upacara makan 12 mangkuk.
Taburan Beras Kuning
Pengantin laki-laki kemudian pergi menjemput pengantin perempuan di rumahnya. Di masa lalu, ini dilakukan dengan naik tandu. Tetapi, sekarang dilakukan dengan naik mobil. Kedatangan kedua mempelai di rumah pengantin laki-laki disambut dengan gemuruh bunyi petasan. Tradisi ini tampaknya ditiru dalam tradisi pengantin Betawi.
Anehnya, ada juga acara tabur beras kuning dan uang logam yang sangat mirip dengan acara pernikahan di berbagai adat Nusantara. Ini sekaligus menunjukkan masuknya adat Sunda ke dalam tradisi chiou-thau.
Para tamu, khususnya mereka yang masih muda, berebut memperoleh uang logam yang ditaburkan. Ini dipercaya sebagai lambang rezeki.
Kedua mempelai langsung digiring masuk ke kamar pengantin. Di belakang pintu tertutup itu kabarnya mereka melakukan upacara makan onde-onde. Pengantin laki-laki harus mencabut satu kembang goyang dari sanggul pengantin perempuan. Sebaliknya pengantin perempuan membuka kancing baju paling atas dari pengantin laki-laki. Masa' seh cuma makan onde-onde? Ah, nggak usah dibahas lah apa yang sebetulnya terjadi di dalam sana.
Setelah keluar dari kamar pengantin, dilakukan acara teh pai. Orang tua dan sanak saudara memberi sekadar uang pelita sebagai hadiah kepada pengantin. Berlainan dengan angpau yang biasanya dimasukkan ke dalam amplop berwarna merah, uang pelita ini dimasukkan dalam amplop putih bergaris merah.
Kepada setiap pasangan orang tua dan kerabat yang akan memberi amplop, pengantin perempuan terlebih dulu menyuguhkan teh dalam mangkuk kepada yang, memberi amplop. Sesudah menerima amplop, pasangan pengantin melakukan pai atau kowtow (menghormat dengan kedua tangan saling digenggam dan digoyang-goyangkan di depan leher) sebagai ucapan terima kasih. Bukanlah ini sangat mirip dengan acara "jual dawet” dalam tatacara perkawinan Jawa?
Tentu saja harus ada acara makan-makan dalam setiap rangkaian upacara pernikahan. Salah satu hidangan istimewa khas Tangerang adalah bakso Lohwa. Biasanya bakso ini harus dibuat dari daging babi. Tetapi, karena banyak tamu yang beragama Islam, daging baksonya dibuat dari campuran ayam, sapi, dan udang. Kaldu beningnya sungguh lezat. Versi asli bakso Lohwa ini justru daging yang dicincang kasar agar terasa ketika digigit.
Hidangan lain yang tampak di meja adalah capcay, sambal godok, ayam goreng bumbu kuning, pare isi daging, kuah kecap, pindang bandeng, rujak penganten, dan bihun goreng. Pindang bandeng, seperti pernah saya kemukakan sebelumnya, tidak hanya populer di Tangerang, melainkan juga di Jakarta. Bumbunya adalah bawang merah, cabe, kunyit, jahe, lengkuas, daun salam, asam jawa. Uniknya, semua bumbu ini hanya dibakar - tidak diulek - dan kemudian direbus dalam kuah bandeng. Ditambah kecap, tentu saja.
Orang Tangerang sangat bangga dengan produk kecal lokal merek SH. "Kagak aci kalau bukan kecap SH," kata si jurumasak. Jangan lupa, pindang bandeng harus dimakan dengan emping goreng khas Banten yang wajib diguyur dengan kuahnya. Nyam nyam-nyam!!! Semua makanan yang dihidangkan bukan dari perusahaan jasaboga (catering), melainkan semacam potluck dari para kerabat dan tetangga, sehingga betul-betul merupakan home cooking. Pindang bandeng dari keluarga A, bihun goreng dari keluarga B, dan seterusnya.