Ilustrasi: Si Doel
Orang Tionghoa sudah lama sekali berada di Jakarta. Pada waktu Belanda pertama kali menginjakkan kaki di bumi Jayakarta di sana sudah ada pemukiman Tionghoa di muara sungai Ciliwung. Ini menunjukkan bahwa hubungan yang sangat baik antara etnik yang di kemudian hari dikenal sebagai etnik Betawi dengan etnik Tionghoa sudah berlangsung sangat lama, jauh sebelum datangnya bangsa-bangsa Barat ke Nusantara.
Orang-orang Tionghoa yang datang ke Jawa umumnya berasal dari propinsi Hokkian bagian selatan (Ban-lam). Yang dimaksud dengan Hokkian selatan ialah wilayah sekitar Ciangciu (Zhangzhou), Emui (Xiamen) dan Coanciu (Quanzhou)
Maka dari itu secara umum pengaruh Tionghoa yang masuk ke dalam budaya Betawi adalah budaya Hokkian selatan, bukan dari bagian lain negeri Cina. Bahwasanya budaya Hokkian selatanlah yang sangat besar pengaruhnya tampak dari istilah-istilah Hokkian selatan yang sampai sekarang masih dikenal di kalangan Tionghoa peranakan dan sebagian telah masuk ke dalam kosa kata bahasa Betawi.
Menurut Raden Aryo Sastrodarmo, seorang pelancong Surakarta di Batavia pada tahun 1865, dalam Kawontenan ing Nagari Betawi, seperti dikutib Ridwan Saidi dalam Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, adat-istiadat Betawi mirip adat-istiadat Tionghoa. Cara orang Betawi memperkenalkan diri juga seperti orang Tionghoa. Cara mereka duduk dan bercakap-cakap juga sama dengan Tionghoa yaitu duduk di kursi, dan jika makan memakai meja, tida bersila di atas tikar yang terhampar di tanah. Orang Betawi juga belajar silat dari orang Tionghoa. Orang Betawi tida punya rasa takut (alias pede?) disebabkan pengaruh orang Tionghoa.
Kalau di wilayah budaya Jawa, misalnya, etnik Tionghoa peranakan sangat dipengaruhi budaya Jawa sehingga sejak dahulu tida sedikit di antara mereka yang boleh dibilang pakar dalam kebudayaan Jawa: gamelan Jawa, tari Jawa, wayang wong, dan lain-lain, maka menurut pengamatan saya di Jakarta ini interaksi budaya—dalam arti saling mempengaruhi—antara kedua belah pihak sangat kuat. Di satu pihak etnik Tionghoa, khususnya peranakan, sangat dipengaruhi budaya Betawi, di lain pihak etnik Betawi juga sangat dipengaruhi budaya Tionghoa. Begitu dekatnya hubungan budaya antara kedua etnik ini, sehingga seorang sobat saya dari etnik Betawi berseloroh, "Betawi ame Cine ubungannye kaye gigi ame bibir aje."
Di bawah ini ada banyak istilah yang berasal dari bahasa Tionghoa. Istilah-istilah dalam dialek Hokkian selatan itu saya letakkan di dalam kurung dan ditulis sesuai lafal aslinya menurut kamus.
Bahasa Betawi adalah bahasa yang sangat terbuka. Dalam bahasa Betawi sangat banyak kita temukan kata-kata pinjaman (loanwords) dari bahasa Tionghoa, utamanya dialek Hokkian selatan (Ban-lam gi). Kata-kata dalam bahasa Betawi yang berasal dari dialek Hokkian selatan antara lain adalah: kata ganti diri gua (goa) 'saya', dan lu (lu) 'kamu', kata bilangan sederhana: gotun (gou-tun), ' lima perak (rupiah)', captun (cap-tun) 'sepuluh rupiah', cepeh (cit-peh), 'seratus', gopeh (gou-peh) 'lima ratus', ceceng (cit-cheng), 'seribu (rupiah),' goceng (gou-cheng), lima ribu', ceban (cit-ban) 'sepuluh ribu', cetiau (cit-tiau) 'sejuta', liangsim (liang-sim), 'hati nurani' atau 'isi perut', cabo (ca-bou) 'wanita pekerja seks', sue (soe), 'sial atau naas', sue'an 'sialan', dan masih banyak lagi.
Bagian depan rumah Betawi diberi hiasan pembatas berupa langkan (lan-kan) 'balustrade'. Agar tampak indah dan tida kusam, pintu dan jendela harus dicat (chat) ulang setiap tahun. Di dinding tergantung loceng atau lonceng (lo-ceng). Penghuni rumah tidur di pangkeng (pang-keng) 'kamar tidur'. Sebelum tidur orang tentunya ingin kongko (kong-kou) 'mengobrol' terlebih dahulu sambil minum teh (te) dan makan kuaci (koa-ci). Ta'pang (tah-pang) 'balai-balai' atau 'dipan' dipakai untuk rebah-rebahan sambil bersantai.
Untuk memasak di dapur ada langseng (lang-sng) 'dandang', anglo (hang-lou) 'perapian dengan arang'. Meja bisa dibersihkan dengan topo’ (toh-pou) 'lap meja', bisa juga pakai kemoceng (ke-mo-cheng) 'bulu ayam' untuk menghilangkan debunya. Lantas tesi (te-si) 'sendok teh' tentunya untuk menyendok. Untuk mengumpulkan sampah yang sudah disapu ada pengki (pun-ki). Di tempat-tempat becek doeloe orang suka memakai bakiak (bak-kiah) yang tahan air.
Pecinan Tempo Doeloe
Di bidang makanan kecap (ke-ciap) Benteng (Tangerang) memang sudah bekend en tersohor sejak jeman doeloe. Manisan tangkue (tang-koa atau tang-koe) 'beligo' atau 'kundur' memang enak buat dinikmati sembari minum teh. Mi (mi), bihun (bi-hun), tahu (tau-hu), toge (tau-ge), tauco (tau-cioun), kucai (ku-chai), lokio (lou-kio), juhi (jiu-hi), ebi (he-bi), dan tepung hunkwee (hun-koe) tak terpisahkan lagi dengan culinary Betawi. Selain itu kue mangkok (hoat-koe), kue ku (ang-ku-koe), kue sengkulun (sang-ko-lun) telah menjadi kue-kue khas Betawi. Selain Semarang, ternyata Jakarta juga punya penganan yang namanya lumpia (lun-pian) yang tak kalah sedapnya. Sudah pernah mencoba makan ngohiang (ngou-hiang) alias gohiong? Lantas siapa yang tida kenal ikan cuwe (choe) dan nasi tim (tim)?
Pengaruh budaya Tionghoa terasa pula dalam pernikahan tradisi Betawi. Petasan (mercon, kata orang Jawa) salah satu contohnya. Di beberapa daerah, suatu pernikahan gaya Betawi takkan lengkap kiranya tanpa bunyi petasan renceng yang memekakkan telinga saat menyambut penganten laki-laki.
Dalam rombongan ngarak penganten di unit kedua ada barisan remaja pesilat berseragam membawa senjata khas Tionghoa berupa tongkat panjang yang disebut toya.
Pengaruh lain ialah dalam pakaian penganten perempuan Betawi yang disebut putri Cina. Pada Festival Pecinan I di tahun lalu telah kita lihat peragaan upacara perkawinan tradisi Tionghoa peranakan di Tangerang. Bisa kita amati persamaan dan perbedaan antara pakaian penganten perempuan Tionghoa dengan pakaian penganten Betawi yang tentu sudah sering diperagakan. Pakaian penganten perempuan Betawi yang disebut Putri Cina pada dasarnya sama saja dengan pakaian penganten perempuan tradisi Tionghoa peranakan.
Baju penganten Putri Cina itu terdiri dari: serangkaian Kembang Goyang dengan Burung Hong serta penutup wajah penganten perempuan yang disebut Siangko (pat-sian khou), baju penganten berpotongan Mancu yang mempunyai bukaan di kanan, yang disebut baju Toaki (toa-ki), dan bawahan berupa rok lipit yang disebut Kun (kun). Di bagian bahu dan dadanya penganten perempuan memakai aksesori yang disebut Terate (in-kian).
Sama seperti orang Tionghoa, orang Betawi pun kalau kondangan lazim memberikan angpau atau ampau, selain barang-barang lain, kepada tuan atau nyonya rumah. Ampau (ang-pau) ialah bingkisan uang yang dimasukkan ke dalam amplop khusus bergaris merah.
Dalam pertemuan-pertemuan kaum Betawi, para lelaki biasanya mengenakan baju tikim (tui-khim)—ada yang menyebutnya baju koko dan sadariah—dengan padanan celana batik dan selendang yang dikalungkan di dada. Celana pangsi (phang-si) berwarna hitam kebanyakan dipakai oleh jago-jago/jawara-jawara. Ibu-ibu sering menggendong anak yang masih kecil dengan cukin (chiu-kin). Untuk ikat pinggang dipakai angkin (ang-kin). Anak-anak kecil doeloe suka mengenakan oto (io-tou) supaya tida mudah masuk angin.
Kalau kondangan banyak kaum perempuan yang memakai Kebaya Encim. Kebaya ini merupakan pengaruh tida langsung orang Tionghoa peranakan terhadap orang Betawi. Walau kebaya ini asalnya dari orang Indo, tapi kemudian dimodifikasi dan diadaptasi oleh kaum perempuan Tionghoa peranakan. Jika kebaya Indo hanya berwarna putih, maka kebaya perempuan Tionghoa peranakan kemudian tida lagi berwarna putih, dan lalu diberi sulaman (bordir) benang berwarna-warni. Bermacam motif dekoratif disulamkan di sini. Mulai dari aneka flora, kupu-kupu, dan burung bahkan sampai ke . . . raket tenis! Ujung kebaya yang pada kebaya Indo rata dibuat menjadi sonday (meruncing). Ujung sonday inilah yang lantas menjadi ciri khas Kebaya Nyonya peranakan. Kebaya yang kini disebut Kebaya Encim ini selanjutnya diadaptasi oleh kaum perempuan Betawi.
Dalam bidang seni musik kontribusi orang Tionghoa, dalam hal ini orang Tionghoa peranakan, yang tida kalah penting adalah musik khas Jakarta yang disebut gambang kromong. Jenis musik ini memang musik pembauran alias campuran, seperti dikatakan sendiri oleh Kwee Kek Beng, seorang wartawan senior, ''Maoe dikata Tionghoa terlaloe Indonesia, maoe dikata Indonesia terlaloe Tionghoa."
Gambang kromong pada mulanya membawakan lagu-lagu instrumentalia dari daerah Hokkian selatan (lagu pobin) dengan iringan gambang, kromong, ningning, kecrek, kendang, goong, suling, dan beberapa instrumen gesek Tionghoa. Instrumen gesek itu terdiri dari: sukong (su-kong) yang besar dan bernada rendah, tehyan (the-hian) yang sedang, dan kongahyan (kong-a-hian) yang paling kecil dan bernada tinggi.
Lagu pobin merupakan lagu terawal gambang kromong, biasanya dimainkan sebagai pembukaan suatu pertunjukan musik gambang kromong. Judulnya masih dalam dialek Hokkian selatan. Judul lagu pobin yang masih dapat sering diperdengarkan antara lain: Khong Ji Liok ('Kosong Dua Enam') dan Peh Pan Thau ('Delapan Ketukan'). Laras (surupan) gambang kromong adalah laras salendro yang juga khas Tionghoa, disebut Salendro Cina. Para pemain (panjak) gambang kromong bisa dari etnik Tionghoa peranakan, bisa dari etnik Betawi, atau campuran antara keduanya.
Selain memainkan lagu-lagu pobin, gambang kromong juga mengiringi lagu-lagu yang dinyanyikan wayang cokek. Wayang adalah 'anak wayang' (aktor atau aktris), sedangkan cokek dari kata chioun-khek yang artinya 'menyanyi' (to sing a song). Wayang cokek menyanyi sambil menari (ngibing) bersama pasangan laki-laki. Selendang untuk menari bersama wayang cokek disebut cukin (chiu-kin) atau soder.
Mengenai istilah kekerabatan orang Betawi menyebut kakenya ngkong (ng-kong), ibunya enya' (ng-nia), paman dan bibinya encing (ng-cim). Dari ketiga istilah kekerabatan ini ngkong-lah yang paling jelas dipinjam dari istilah kekerabatan Hokkian selatan.
Demikianlah bahasan singkat saya tentang berbagai pengaruh budaya Tionghoa dalam budaya Betawi yang berhasil saya telusuri. Pengaruh yang sebenarnya juga berlaku timbal balik antara kedua etnik tersebut. Pengaruh yang mencerminkan kebhinnekaan yang sesungguhnya dalam budaya bangsa kita ini.