BojepJoe
Jumlah posting : 366 Level Keaktifan : 797 Reputasi : 18 Join date : 16.05.11 Age : 35
| Subyek: Tong Sin Fu , Figur Penting Bulutangkis Indonesia Yang Disia-siakan Fri Jun 24, 2011 10:42 pm | |
| mumpung lagi ada even badminton.. share dikit. Di belakang penampilan gemilang tunggal utama China, Lin Dan, ternyata ada pelatih besar kelahiran Indonesia. Pada ajang Piala Thomas di Bukit Jalil, Malaysia, 9-16 Mei lalu, Lin Dan tampil begitu perkasa. Ia melalap pemain dari negara lain, termasuk pemain peringkat satu dunia asal Malaysia, Lee Chong Wei, dan pemain utama Indonesia, Taufik Hidayat, pada babak final. Setiap kali Lin Dan bertanding, di tepi lapangan duduk pelatihnya, seorang yang sudah uzur. Namun, bagi para pemain bulu tangkis dari China dan Indonesia yang mengenalnya, orang tua itu dikenal sebagai seorang tua yang banyak ilmunya. Seorang locianpwe, kalau menggunakan istilah penulis cerita silat masa lalu, Kho Ping Hoo. Orang tua itu, Tang Hsien Hu, Tang Xianhu, atau Tong Sinfu, merupakan seorang yang sangat dihormati Lin Dan. Peraih medali emas Olimpiade Beijing 2008 ini selalu mengatakan, semua kemenangannya hanya dipersembahkan buat Tang atau Tong. "Dia memang pelatih saya, tetapi saya memandangnya sebagai kong-kong, kakek saya. Ia seorang pelatih yang bertanggung jawab dan saya beruntung memilikinya. Ia tidak hanya membimbing saya dari segi teknik, tetapi juga dalam nilai-nilai kehidupan," kata Lin Dan. Kehadiran Tang atau Tong di tepi lapangan saat Lin Dan menghadapi Taufik Hidayat pada partai pertama final Piala Thomas, Minggu (16/5/2010), sebenarnya merupakan psy war yang sangat dahsyat buat tim Indonesia. Tong memang lahir dan besar di Indonesia, tepatnya di Teluk Betung, Lampung, 13 Maret 1942. "Di Tiongkok, nama saya sering disebut Tang Xianhu atau Tang Hsien Hu, bergantung dialek daerah masing-masing. Namun, orangtua saya memberi nama Tong Sin Fu," katanya tahun lalu. Kembali ke Tiongkok saat 1950-an, ia kembali ke Indonesia sebagai pelatih pada 1986. Pertama melatih di klub Pelita Jaya, Tong kemudian ditarik menangani pelatnas Cipayung. Di tangan dingin Tong atau yang kerap dipanggil "Oom Tong" oleh para pemain, lahir pemain-pemain yang kemudian membawa Indonesia mendominasi dunia bulu tangkis 1990-an, seperti Alan Budikusuma, Ardy B Wiranata, Hariyanto Arbi, maupun para pemain putri angkatan Susy Susanti dan Lily Tampi. Oom Tong inilah yang ikut dalam proyek besar merebut medali emas Olimpiade Barcelona 1992 yang dipenuhi oleh Alan Budikusuma dan Susy Susanti. Bahkan, Tong kemudian ikut membidani lahirnya generasi Hendrawan. Namun, cerita Tong di Indonesia berakhir pada 1998 setelah permohonannya menjadi warga negara Indonesia ditolak. Ia kemudian kembali ke China dan kembali ditarik melatih timnas China. Di tangannya kemudian lahir generasi baru China, seperti Xia Xuanze hingga Lin Dan dan Xi Jinpeng. Mengapa Tong Sin Fu Memilih Kembali ke ChinaMantan pemain nasional Alan Budi Kusuma menganggap negara lain lebih memberi penghargaan kepada para pelatih bulu tangkis yang berprestasi. Hal ini diungkapkan oleh Alan mengenai sosok pelatih China kelahiran Indonesia, Tong Sin Fu atau Tang Hsienhu, yang mendampingi para pemain negeri itu mengalahkan Indonesia 3-0 pada final Piala Thomas, Minggu (16/5/2010). Alan memang dikenal dekat dengan pelatih kelahiran Teluk Betung, Lampung, 13 Maret 1942. Perkenalan terjadi saat Tong melatih di Indonesia pada 1987 hingga 1998. "Bayangkan, pada usia setua itu, ia masih diberi kesempatan duduk mendampingi pemainnya. Padahal setahu saya, ia memiliki masalah dengan jantungnya, serta memang sejak muda hidup dengan satu ginjal," katanya. Peraih medali emas olimpiade ini memang merupakan salah satu anak didik Tong sejak muncul akhir 1980-an. Menurutnya, Tong sebagai pelatih menanamkan disiplin tinggi buat anak didiknya. "Kalau latihan pukul delapan, dia sudah di lapangan pukul 07.30. Kami terlambat satu menit saja akan disuruh pulang," ungkapnya. Ia juga memuji Tong yang memiliki metode latihan yang unik dan tidak pernah sama untuk setiap pemain. "Saya dengan pemain lain, seperti Ardy, diberikan metode latihan yang berbeda. Namun, setiap memberikan teknik latihan, Om Tong selalu bilang, latihan yang dijalankan itu akan memberi hasil tiga bulan kemudian. Dan ini terbukti," ungkapnya. Mereka terus bersama hingga Tong memutuskan kembali ke China setelah permintaannya untuk memperoleh surat bukti warga negara Indonesia ditolak. "Om Tong memang cerita tentang kesulitan dia memperoleh izin naturalisasi. Dia telah mengajukan selama lebih dari sepuluh tahun dengan biaya sendiri hingga habis lebih dari Rp 50 juta-an," kata Alan. "Awalnya dia telah mendapatkan KIMS (kartu izin menetap sementara) yang diperpanjang dengan menerima KIM (kartu izin menetap), tetapi ketika saatnya mendapatkan surat bukti WNI, dia malah diminta mengurus ulang proses mendapatkan KIMS," katanya. Alan ingat bagaimana reaksi Tong Sin Fu saat permintaannya mendapatkan surat bukti WNI gagal. "Waktu itu kami masih latihan hingga pukul 10 malam. Om Tong bilang saya mau ke imigrasi sebentar," katanya. "Pukul 11 malam, dia pulang dengan menendang pintu ruang latihan sampai kami semua berhenti berlatih. Om Tong cuma teriak, 'kurang ajar... gue disuruh ngulang prosesnya!'" kenang Alan. Alan tidak tahu apakah dalam proses mendapatkan surat WNI tersebut Tong mendapat bantuan dari pengurus PB PBSI atau pejabat berwenang lainnya. "Beberapa hari setelah kejadian itu, dia bilang memutuskan akan kembali ke China," katanya. "'Lan, apa sih yang kurang saya lakukan buat negeri ini? Saya sudah membawa gelar juara, juga dapat penghargaan dari Presiden. Tapi semua itu tidak ada gunanya'," ucap Alan mengulangi perkataan Tong. Saat itu, Alan, karena masih menjadi pemain, meminta Tong mempertimbangkan keputusannya itu. Namun, pelatih yang pernah melahirkan nama-nama besar di China, seperti Lin Ying/Wu Dixi dan Li Lingwei ini mengatakan, "Gue di sini warga negara asing. Kalau mati di sini, istri dan anak gue makan apa?" Tong memang menikah dengan seorang wanita dari China daratan pada usia cukup lanjut dan memiliki putra yang seingat Alan baru berusia enam tahun. "Mungkin setelah menghubungi koleganya di China, ia mendapat kepastian tentang masa depannya di sana," ucap Alan. Juni 1998, Tong akhirnya kembali ke China dengan membawa keluarga. Ia diantarkan oleh para mantan anak asuhnya, antara lain Alan Budi Kusuma, Candra Wijaya, Hariyanto Arbi, dan Hendrawan sampai ke bandara Soekarno-Hatta. Menurut Alan, setelah pindah, Tong ditarik sebagai pelatih tingkat provinsi kemudian timnas oleh pelatih kepala, Li Yongbo. Sebagai pelatih timnas, Tong Sin Fu atau Tang Hsien Hu mendapat jaminan, seperti rumah, kendaraan, dan jaminan hidup hingga seumur hidup anaknya. Ya, seumur hidup anaknya! artikel lain - Spoiler:
Salah satu orang penting di balik keberhasilan Tiongkok menguasai bulu tangkis dunia adalah Tong Sin Fu alias Tang Xianhu. Pelatih kelahiran Lampung itu pernah memoles generasi emas bulu tangkis Indonesia. Dia terpaksa kembali ke Tiongkok karena permohonannya menjadi WNI (warga negara Indonesia) ditolak.
PRIA renta itu hampir selalu berada di tepi lapangan setiap kali Lin Dan tampil pada Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2009. Kepalanya terbungkus topi dan sebuah tas diselempangkan di pundak. Lin Dan, pebulu tangkis tunggal pria andalan Tiongkok, selalu menoleh ke arah pria itu setiap kali lawan berhasil menerobos pertahanannya. Menunggu instruksi.
Lin Dan, yang sejatinya hanya diunggulkan di peringkat kelima, akhirnya berhasil menjadi juara dunia di Gachibowli Indoor Stadium, Hyderabad, 10?16 Agustus lalu. Keberhasilannya, antara lain, berkat instruksi pria tua yang tak lain adalah Tong Sin Fu, pelatih tim nasional (timnas) Tiongkok.
Itu adalah gelar juara dunia ketiga bagi pemain berjuluk Super Dan tersebut, setelah memenanginya pada 2006 dan 2007. Di partai final, Tong tak tampak di pinggir lapangan lagi. Alasannya, mungkin, partai tersebut mempertemukan sesama pemain Tiongkok, Lin Dan v Chen Jin.
Tong adalah sosok yang sangat berjasa bagi kemajuan bulu tangkis di negeri terpadat di dunia itu. Sentuhan magisnya membuat Tiongkok menjadi raksasa bulu tangkis di era modern ini. Para pemain Tiongkok, dalam beberapa tahun terakhir, memang bermain dengan kemampuan jauh di atas pemain mana pun. Tak heran, pada kejuaraan di India itu timnas Tiongkok hanya kehilangan gelar ganda campuran. Empat nomor lain dikuasai pemain Tiongkok. Bahkan, tiga partai final berlangsung antarpemain Tiongkok.
Sebaliknya, Indonesia terpuruk. Nova Widianto/Liliyana Natsir, satu-satunya wakil di final kerjuaraan itu,?dikalahkan duet Denmark, Thomas Laybourn/Kamilla Rytter Juhl.
Melatih pemain Tiongkok, kata Tong, tidak terlalu susah. Sebab, mereka sangat berbakat. "Di Tiongkok, para pemandu bakat telah menyediakan pemain-pemain bagus. Kami, para pelatih, tinggal memoles," katanya dengan bahasa Indonesia yang masih fasih.
Tong memang lahir dan besar di Indonesia. Tepatnya di Teluk Betung, Lampung, 13 Maret 1942. "Di Tiongkok, nama saya sering disebut Tang Xianhu atau Tang Hsien Hu, bergantung dialek daerah masing-masing. Tapi, orang tua saya memberi nama Tong Sin Fu," paparnya kala ditemui di sela Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2009. Ketika masih menangani timnas Indonesia, dia punya nama Fuad Nurhadi.
Tak kurang dari tiga puluh tahun dia menjadi pelatih bulu tangkis. Kepelatihannya berawal pada akhir 1979, saat dia mulai gantung raket. Selama enam tahun Tong memoles para pemain wanita Tiongkok. Di antaranya Li Lingwei dan Han Aiping. Dua pebulu tangkis andalan Tiongkok di era 1980-an.
Kemudian pada 1986 Tong melatih di Indonesia. Awalnya, dia tidak menangani pemain Pelatnas Cipayung. Dia melatih di klub Pelita Jaya milik Aburizal Bakrie. Ketika itu dia dikontrak USD 750 per bulan. Setelah itu Tong ditarik untuk menangani pebulu tangkis yang ditempa di Pelatnas Cipayung.
Ketika itu sejumlah pemain legendaris nasional masih di pelatnas. Seperti Liem Swie King di masa-masa akhirnya, Icuk Sugiarto, dan Hastomo Arbi. Kemudian, dia ikut membidani lahirnya para pemain generasi emas, seperti Alan Budikusuma, Ardi B. Wiranata, dan Hariyanto Arbi.
Bahkan, Tong mengantarkan Alan meraih medali emas bulu tangkis di Olimpiade Barcelona 1992. Waktu itu Susi Susanti juga berhasil meraih emas sehingga dijuluki pengantin emas. "Para pemain Indonesia saat itu memang berbeda dengan yang ada sekarang," katanya.
"Secara kualitas mereka lebih baik. Selain itu, saya lihat mereka punya semangat dan kemauan keras untuk menjadi juara," lanjut pria 68 tahun itu. "Filosofi saya sebagai pelatih adalah bukan pelatih yang harus pandai, melainkan pemain sendiri. Tugas pelatih hanya membantu," sambungnya. Pemain terakhir Indonesia yang ditangani adalah Hendrawan yang juga sempat menyabet juara dunia.
Pada 1998 dia memutuskan kembali ke Tiongkok setelah permohonannya menjadi warga negara Indonesia (WNI) ditolak. "Kenapa itu (penolakan menjadi WNI, Red) diungkit-ungkit lagi. Itu sudah cerita lama," kata pria yang kini menetap di Fuzhou tersebut. "Waktu itu saya sudah berusaha mati-matian untuk menjadi WNI, tapi tetap tidak dikabulkan. Apa mau dikata," katanya.
Dia hanya terdiam ketika ditanya apakah masih ingin menjadi WNI. "Saya cukup bahagia dengan posisi saya saat ini. Kalau toh bisa menjadi WNI, sekarang usia saya sudah lanjut," kata suami Li Qing itu, sembari sesekali membenarkan letak topinya.
Meski begitu, dia belum tahu kapan akan pensiun sebagai pelatih. "Saya menikmati peran saya sekarang. Selama saya masih kuat, saya akan terus melatih. Sebab, di usia ini kalau tidak ada kegiatan, malah tidak enak," paparnya.
Di Tiongkok, Tong tak langsung melatih tim nasional, melainkan menjadi pelatih tim bulu tangkis Provinsi Fujian. Tak lama kemudian, dia melatih timnas Negeri Panda itu. Pada Olimpiade Sydney 2000, dia harus melihat anak didiknya, Xia Xuanze, menyerah di tangan Hendrawan yang pernah dilatihnya.
Namun, Hendrawan hanya meraih perak di Olimpiade itu setelah di final dikalahkan Ji Xinpeng, pemain lain Tiongkok. Salah satu keberhasilan Hendrawan saat itu berkat arahan Tong Sin Fu. Sebaliknya, keberhasilan Ji Xinpeng mengalahkan Hendrawan "yang kini melatih tim Malaysia" juga berkat sentuhan Tong Sin Fu.
Setelah itu Tong ikut membidani lahirnya para pebulu tangkis andalan Tiongkok saat ini. Misalnya, Lin Dan, Chen Jin, Bao Chunlai, dan ganda pria Cai Yun/Fu Haifeng. Nama-nama inilah yang beberapa tahun terakhir mendominasi peta persaingan bulu tangkis dunia. Bahkan, selain mengantarkan Lin Dan hat-trick juara dunia, dia berhasil mengantar Super Dan meraih medali emas Olimpiade Beijing tahun lalu.
Tong merupakan salah satu pemain junior Indonesia terbaik di era 1950-an. Pada 1960, dia pergi ke Tiongkok bersama rekannya, Hou Chia Chang, asal Surabaya. "Saya meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan studi sambil bermain bulu tangkis," tutur bapak dua anak itu.
Dia meninggalkan orang tua dan tiga saudaranya, yang saat itu tinggal di daerah Pejompongan, Jakarta.
Di Tiongkok karir bulu tangkis Tong Sin Fu melesat. Hanya dalam lima tahun dia sudah menjadi juara nasional. Gelar itu dikuasai sampai 1975. Hou Chia Cang juga berhasil. Mereka berdua dijuluki Raksasa Tiongkok karena keperkasaannya.
Sayang, ketika itu pemerintah Tiongkok tak mengizinkan atlet-atletnya mengikuti turnamen di Eropa atau di negara-negara yang tak sepaham. Akibatnya, nama mereka berdua tidak begitu dikenal secara internasional. Tapi, pers Barat yang mengendus keberadaan mereka menganggapnya sebagai kekuatan tersembunyi. Tong hanya tampil di Ganefo (Games of The New Emerging Forces) 1963 dan 1966. Dia menjadi juara tunggal pria.
Pada 1976, ketika rezim komunis Tiongkok mulai terbuka dan mengizinkan atlet-atletnya bermain di luar negeri, Tong dan Hou mulai menunjukkan kemampuan. Bahkan, di sebuah laga ekshibisi, Tong berhasil menggilas pemain terbaik Eropa saat itu, Erland Kops, dengan skor sangat telak, 15-0, 15-0. Oleh pers Barat, Tong dijuluki The Thing.
Ketika itu dominasi tunggal pria dunia di tangan Rudy Hartono yang berhasil menjuarai All-England delapan kali. Tapi, Tong maupun Hou tidak sempat ditarungkan dengan jagoan Indonesia itu.
Mereka pernah bertemu Iie Sumirat dalam sebuah even antarpemain Asia di Bangkok pada 1976. Iie Sumirat berhasil memecundangi keduanya. Saat dikalahkan Iie Sumirat, usianya sudah 34 tahun. Tak lama kemudian, dia memutuskan gantung raket, dan menjadi pelatih.
Tong mengaku, meski sudah tak tinggal dan melatih di Indonesia, dia terus memperhatikan perkembangan bulu tangkis di negeri kelahirannya ini. Dia tak menampik, saat ini prestasi bulu tangkis nasional memang tak sebaik di era-era sebelumnya. Tapi, dia yakin, Indonesia kembali bangkit. "Hanya masalah waktu menunggu bulu tangkis Indonesia berkibar kembali," ucapnya.
Dia mengaku masih punya banyak sanak-saudara di Indonesia. Sesekali dia pulang ke Indonesia. Kedua anaknya "dia tidak mau menyebutkan namanya" juga dilahirkan di Indonesia.
Tong adalah contoh mutiara berharga yang disia-siakan.
another story. PP 10 Mengubah Peta Bulutangkis Dunia - Spoiler:
Begitu pemain tunggal putra Tiongkok, Lin Dan, memenangkan medali emas di Olimpiade Beijing 2008, dia langsung melompat kegirangan dan memeluk kedua orang pelatihnya. Maklum, walaupun ia memegang ranking IBF (persatuan bulutangkis internasional) nomor satu dan sudah memenangkan Kejuaraan Dunia, Thomas Cup, dan All England, empat tahun sebelumnya di Athena, Yunani, ia harus menggigit jari dikalahkan di babak pertama oleh pemain Singapura asal Indonesia, Ronald Susilo.
Lawan bebuyutannya kala itu, Taufik Hidayat, yang akhirnya memenangkan medali emas 2004. Di tahun ini, Taufik tersingkir di babak pertama oleh pemain Malaysia, Wong Choon Hann.
Penggemar bulutangkis di Indonesia pasti tak asing lagi dengan salah satu pelatih Lin Dan, yang oleh persatuan bulutangkis Tiongkok diberi tugas khusus untuk mempersiapkan Super Dan – demikian ia biasa dipanggil oleh media luar negeri – untuk merebut medali emas. Ia tak lain ialah Tang Xianhu, bekas pelatih Tim Nasional Indonesia dari tahun 1987 sampai dengan 1997.
Tang Xianhu (menurut ejaan standar bahasa Tiongkok, pinyin) juga dikenal dengan nama Tong Sinfu (ejaan bahasa Kanton), dan ketika masih mewakili Indonesia sebagai pemain yunior di akhir tahun 1950-an, memakai nama lahirnya Thing Hian Houw (ejaan bahasa Hokkian, yang lazim dipakai di Indonesia sejak masa Hindia Belanda). Di masa 1950-an, para pemain papan atas Indonesia didominasi oleh etnis Tionghoa, misalnya Tan Joe Hok dan Njoo Kiem Bie, dengan beberapa perkecualian misalnya Ferry Sonneville yang keturunan Eropa. Di bagian yunior, Hian Houw termasuk pemain generasi berikutnya.
Di masa itu juga, politik adalah panglima. Presiden Sukarno dekat dengan PKI, tapi bila perlu akan memberi angin kepada tentara yang di masa perang dingin itu mengambil haluan politik sangat kanan. Dengan dimotori oleh tentara, di tahun 1959, pemerintah Sukarno meluncurkan Peraturan Pemerintah Nomor 10, yang melarang etnis Tionghoa berdagang di kota tingkat kecamatan, jika mereka tidak memiliki surat bukti kewarganegaraan Indonesia (SBKRI).
“Pai hua” (racial harrassment), lagi-lagi “pai hua”, keluh etnis Tionghoa. Mengurus SBKRI, bahkan sampai 40 tahun kemudian pun, makan waktu bertahun-tahun dan uang banyak. Alhasil, PP 10, demikian ia dikenal, dalam waktu semalam membuat puluhan ribu warga Tionghoa di pelosok-pelosok kelihangan aset dan mata pencaharian.
Tak kurang dari sastrawan dan intelektual nomor wahid Pramudya Ananta Toer, memprotes ketidakadilan itu, yang dituangkannya dalam satu buku penuh data otentik dan tabel-tabel berjudul “Huakiao di Indonesia”. Atas keberaniannya sebagai satu-satunya “suara di padang pasir”, Toer dipenjarakan tentara.
Sebagai akibat dari ketidakbijakan ini, terjadi eksodus besar-besaran di tahun 1960 dari Indonesia ke Tiongkok. Bagaimana jika anda dilarang bekerja di bidang yang sudah turun temurun dilakukan dan diusir dari toko keluarga? Puluhan ribu pemuda-pemudi Tionghoa direpatriasikan ke kampung halaman nenek moyang mereka, walaupun bahasa Mandarin tidak begitu mereka kuasai atau mereka ucapkan dengan aksen Jawa yang kental.Termasuk dalam rombongan ini ialah pemain-pemain top bulutangkis yunior di Indonesia, termasuk Thing Hian Houw (Jakarta), Houw Ka Tjong (Semarang), dan Fang Kaixiang (Surabaya) di rombongan pria, dan Tan Giok Nio and Leung Tja Hoa di bagian wanita.
Sesampainya di Tiongkok, nama-nama mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin menjadi Tang Xianhu, Hou Jiachang, Fang Kaixiang, Chen Yuniang, dan Liang Qiuxia. (Liang Qiuxia sendiri ialah kakak Tjun Tjun, yang kemudian bersama Johan Wahjudi menang piala ganda putra All England 5 kali berturut-turut.)
Dengan cepat mereka menjadi pemain-pemain papan atas di Tiongkok, karena mereka membawa serta permainan dan latihan “speed and power” yang dikembangkan oleh klub-klub bulutangkis di Indonesia (yang memungkinkan Indonesia mendominasi Thomas Cup dan All England 1956-1980).
Dalam setiap pertandingan internasional yang mereka hadapi, tidak ada yang mampu mengalahkan Tang cs. Bahkan Erland Kops, juara All England sebelum Rudy Hartono naik daun, hanya diberi 5 dan 0 dalam suatu pertandingan persahabatan waktu Kops berkunjung ke Tiongkok. Di masa itu, duo pendekar bulutangkis Hou dan Tang ini dikenal sebagai pendekar jurus monyet.
(Hou dari Hou Jiachang sama bunyinya dengan hou monyet) dan pendekar jurus macan (Hu dari Xianhu sama bunyinya dengan hu macan).
Sayangnya, perkembangan politik di Tiongkok membuatnya menjadi negara yang tertutup (tirai bambu). Pertama, Republik Rakyat Tiongkok sampai tahun 1974 tidak diakui oleh Persatuan Bangsa Bangsa; Republik Nasionalis Tiongkok (Taiwan) lah yang diakui oleh PBB dan banyak negara lain sebagai satu-satunya negara Tiongkok.
Kedua, ketua Partai Komunis Tiongkok Mao Zedong meluncurkan program revolusi kebudayaan yang makin membuat Tiongkok terisolasi dari dunia internasional dan membuat perkembangan ekonomi dan budaya Tiongkok mandek selama era 1968-1978. Ketiga, G30S PKI di Indonesia dengan imbas samping terputusnya hubungan diplomatik mengakibatkan pertukaran informasi dan budaya antara Indonesia dan Tiongkok sama sekali terputus antara 1965-1980. Tiongkok sendiri anggota World Badminton Federation, sedangkan Indonesia anggota International Badminton Federation.
Akibatnya, Tiongkok tidak pernah turut serta All England, Piala Thomas/Uber, dan turnamen lainnya yang disponsori oleh IBF. Paling-paling hanya Asian Games. Hou Jiachang dan Tang Xianhu di masa jayanya di tahun 1960-an dan awal 1970-an tidak pernah bertanding dengan pemain legendaris Indonesia Rudy Hartono.
Pada waktu mereka mulai gaeklah (usia 36) mereka bermain melawan Iie Sumirat dalam suatu pertandingan di Bangkok dan kalah. Jadi kita tidak akan pernah tahu, siapa yang lebih hebat: Hou dan Tang atau Rudy Hartono.
Begitu mereka pensiun sebagai pemain, Tang, Hou, dan Liang melanjutkan karier mereka sebagai pelatih. Tang dan Liang kemudian menjadi pelatih kepala tim nasional putra dan putri. Dapat dikatakan efek mereka sebagai pelatih jauh lebih besar daripada sebagai pemain. Para pebulutangkis didikan mereka, langsung maupun tak langsung, langsung mampu bersaing dengan Liem Swie King dkk. begitu pintu diplomasi dibuka di tahun 1980. Dalam pertarungan persahabatan di tahun 1980, Indonesia dikalahkan tipis 5-4 oleh tim Tiongkok yang berisi Han Jian, Luan Jin, antara lain.
Generasi berikutnya Yang Yang, Zhao Jianhua naik daun bersamaan dengan turunnya pamor Liem Swie King karena usia. Icuk Sugiarto dicatat sejarah sangat kesulitan dan tidak pernah menang melawan Yang Yang.
Di bagian putri yang secara tradisional didominasi oleh Jepang dan kadang-kadang Indonesia, anak didikan Liang Qiuxia menyapu semua pertandingan internasional di tahun 1980-an, dengan dimotori Li Lingwei, Han Aiping, dkk.
Tang sendiri mengatakan, ia tidak bisa mengubah batu menjadi emas. Artinya, bakat harus ada, tidak bisa tanpa bakat dengan latihan langsung menjadi juara. Tapi peran pelatih dan tradisi disiplin dan kemampuan teknis yang dibawanya tidak bisa dianggap remeh.
Buktinya? Setelah Deng Xiaoping (pengganti Hua Guofeng yang ditunjuk oleh Mao Zedong sepeninggalnya) menjabat sebagai pemimpin RRT, ekonomi Tiongkok dibuka lebar. Pelatih boleh bekerja di luar negeri untuk mendapatkan penghasilan lebih. Tang Xianhu dan Liang Qiuxia memilih kembali ke tanah kelahiran mereka dan diangkat oleh PBSI menjadi pelatih tim nasional Indonesia, sejak tahun 1987.
Seorang pemain bulutangkis Amerika keturunan Vietnam pernah berlatih dengan timnas Indonesia di tahun 1988. Ia bercerita, latihan sangat berat. Delapan jam sehari, ditambah dua jam latihan main. Jika ada yang kakinya terkilir, pelatih dengan keras akan berkata: “Bangun, atau keluar”.
Hasil dari latihan keras ini? Ardy Wiranata, Heryanto Arbi kembali memenangkan All England berkali-kali. Di tahun 1992, Allan Budikusuma dan Susy Susanti mengawinkan medali emas putra-putri di Barcelona. Pemain-pemain tunggal Indonesia, digabung dengan kekuatan tradisional Indonesia di ganda putra yang dilatih Christian Hadinata, kembali mendominasi piala Thomas.
Di bagian putri, Susi Susanti dkk. untuk pertama kalinya sejak 1976 memenangkan Piala Uber. Susi sendiri mengakui peranan “cik Chiu-Hsia” demikian Liang dipanggil oleh anak didiknya di pelatnas. Tiongkok kelabakan ditinggal oleh dua pelatih dewa ini, dan perlu beberapa tahun untuk membangun kembali program mereka di bawah Li Yongbo, bekas didikan Tang juga.Sekembalinya di Indonesia dan melanjuti sukses mereka, Tang dan Liang bahkan mau kembali menjadi warga negara Indonesia. Bahasa Indonesia mereka masih lancar. Bahkan kalau mereka bicara bahasa Mandarin dengan aksen Indonesia. Tapi, mengurus SBKRI tidak gampang.
Kemudian terjadi krisis moneter dan dampak negatifnya kerusuhan rasial Mei 1998 yang lagi-lagi ditunggangi oknum-oknum tentara. Tang memilih kembali ke Tiongkok ke tanah leluhur di Hokkian. Walaupun tidak jadi pelatih kepala, ia diminta melatih ganda putra dan secara selektif beberapa tunggal putra.
Hasilnya? Tiongkok kembali naik daun. Ji Xinpeng meraih emas mengalahkan Hendrawan (juga bekas murid Tang) di Sydney 2000. Hanya Taufik yang mampu mematahkan dominasi itu di Athena 2004. Pemain-pemain Tiongkok kembali mendominasi kejuaraan-kejuaraan beregu, baik Thomas, Uber, maupun Sudirman Cup.
Dan terakhir, Lin Dan membalas kekecewaan empat tahun lalu dan mempersembahkan medali emas kepada Tiongkok dan pelatihnya, Tang Xianhu alias Thing Hian Houw.
Jika bukan karena PP 10, hari ini RRT tidak akan mempunyai tradisi bulutangkis dominan yang diluncurkan oleh Tang, Hou, Liang, dkk., etnis Tiongkok asal Indonesia. Bukan tidak mungkin Indonesialah yang mendominasi total semua medali emas putra dan putri di dalam Olimpiade.
|
|