Mungkin tak banyak orang tahu siapa sosok Budidarmo, tapi di kalangan Kepolisian, khususnya yang hidup di era 70-an, sosok ini tentunya tidak asing lagi. Dilahirkan dengan nama lengkap Widodo Budidarmo pada 1 September 1927 di Surabaya, bapak tiga orang anak ini meraih puncak karirnya di Kepolisian sebagai Kapolri 1974-1978. Bukan hanya itu, suami dari Darmiati Poeger ini juga pernah menduduki kursi elit di ICPO Interpol sebagai Wakil Ketua pada tahun 1976 yang pemilihannya dilakukan pada saat sidang ICPO Interpol di Accra, Ghana.
Teladan Budidarmo
Meski Gus Dur dalam suatu kesempatan pernah bilang bahwa hanya ada tiga polisi yang jujur di Indonesia, yaitu Polisi Tidur, Patung Polisi, dan Hoegeng (Kapolri 1968-1971), tapi kenyataannya pernyataan tersebut tidaklah tepat, masih banyak polisi yang layak menyandang predikat jujur atau lebih tepatnya teladan, salah satunya adalah Jenderal Polisi (Purn) Widodo Budidarmo.
Pada masa Widodo menjabat sebagai Kapolri, ia harus dihadapkan dengan persoalan dan situasi yang teramat sulit di mana jajarannya ada yang terindikasi melakukan korupsi. Informasi tersebut Widodo peroleh dari surat pribadi Hoegeng yang ditujukan kepadanya. Sebagai pimpinan puncak Polri saat itu, Widodo langsung bergerak menindaklanjuti informasi tersebut. Tak lama kemudian, kasus korupsi itu pun terbongkar dan pelakunya ternyata Deputi Kepala Polri Letjen Pol Siswadji. Atas tindakannya tersebut, Siswadji dijatuhi hukuman penjara selama delapan tahun. Sementara tiga perwira polisi lainnya yang ikut korupsi masing-masing mendapatkan tujuh tahun dan enam tahun penjara.
Pak Wid tidak hanya dikenal tegas kepada anggotanya di Polri, tapi perlakuan itu juga berlaku bagi keluarganya. Kali ini, mungkin dalam sejarah manusia, khususnya yang punya kuasa sekelas Kepala Kepolisian Republik Indonesia hanya beliaulah yang pernah melakukan. Peristiwa ini terjadi ketika anak kesayangannya Tono (Agus Aditono) yang saat itu masih duduk di bangku SMP bermain-main dengan pistol dan secara tidak sengaja menewaskan sopirnya. Meskipun anak buah dan staf menyarankan agar peristiwa tersebut ditutupi, namun Widodo justru mengambil keputusan untuk membuka peristiwa penembakan tersebut kepada publik dalam sebuah jumpa pers dan menyerahkan putranya ke Polsek Kebayoran Baru untuk diproses secara hukum. Dalam pengadilan di Jakarta Selatan kemudian Tono dijatuhi hukuman satu tahun masa percobaan.
Teladan Pejabat Sekarang?
Banyak kalangan berujar kalau saat ini Indonesia mengalami krisis keteladanan oleh para pejabat publiknya. Para pemimpin yang seharusnya memberikan contoh, teladan, dan dapat menjadi pengayom bagi masyarakat justru berlaku sebaliknya. Idaman akan sosok pemimpin yang amanah pun semakin jauh dari impian masyarakat. Hal ini tentu membuat masyarakat semakin kecewa dan prihatin. Sampai kapan keadaan seperti ini akan terus berlangsung, sedang rakyat sudah jengah dengan segala aksi dan polah tingkah para pejabat yang adigang adigung adiguna.
Hampir setiap hari masyarakat selalu disuguhi berita tentang kebobrokan mental para pejabat. Mulai dari kasus korupsi, narkoba, pelecehan seksual, sampai minimnya kesadaran hukum ketika para pejabat dan kroninya harus menghadapi panggilan dari para penegak hukum. Kasus Gayus, Nazaruddin dan Nunun Nurbaeti adalah salah satu contoh dari sekian banyak kasus yang sangat mencoreng penegakan hukum di negeri ini. Sampai-sampai, saking prihatinnya dengan kasus tersebut ada salah satu keluarga di Pasuruan, Jawa Timur secara khusus menciptakan lagu berjudul “Nyasarrudin” sebagai bentuk pesan moral yang ditujukan kepada para tersangka yang kabur ke luar negeri karena menghindari panggilan Polisi dan KPK. Anehnya, lagu yang diupload di youtube ini laris manis di dunia maya, bahkan tidak sedikit yang mengunduh dan menjadikannya ringtone di ponsel. Ini adalah fenomena yang luar biasa sekaligus menggelikan. Sayangnya, indahnya lirik dan merdunya suara keluarga Hari Widiyanto belum juga mampu memanggil para tersangka pulang ke Indonesia untuk memenuhi panggilan KPK.
Pemimpin Teladan
Menjadi pemimpin yang dapat diteladani memang bukanlah hal yang mudah. Bahkan, untuk sekadar menjadi pemimpin pun sebenarnya juga tidak mudah. Namun, karena menjadi pemimpin dapat membawa keuntungan, terutama keuntungan pribadi dan golongan, maka banyak orang berlomba-lomba untuk dapat menjadi pimpinan. Akibatnya, banyak ditemukan pemimpin yang cenderung otoriter dan memanfaatkan kekuasaannya untuk memaksa, sehingga jangan pernah berharap adanya reinforcement apalagi keteladanan.
Susah memang menemukan pemimpin teladan, khususnya keteladanan dalam hukum. Sudah jamak hukum itu akan tumpul apabila mengarah kepada orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan sebaliknya akan tajam sekali apabila mengarah ke bawah, kepada kaum lemah dan terpinggirkan. Tapi bukan berarti pemimpin teladan itu tidak ada, hanya saja pemimpin atau pejabat yang teladan itu sedikit karena memang biasanya “melawan arus”. Pemimpin yang jujur biasanya hidupnya sederhana. Tapi kejujuran di zaman sekarang menjadi barang langka. Ada slogan kalau wong jujur ajur (orang jujur hancur), tapi bagi pemimpin yang amanah, yang dapat diteladani, ia tidak akan takut hancur dengan bersikap jujur. Baginya, mau hancur atau tidak, bukanlah masalah, dia akan bekerja dengan iklas, sabar, tawaqal, dan bertanggungjawab karena dia adalah agen perubahan, berani melawan arus, bahkan siap dicemooh oleh sekelilingnya yang memang sudah “rusak”. Pejabat seperti ini tidak takut dicap sok suci, malah dengan kesederhanaannya, dia akan terlihat amat bersahaja. Ia tidak malu dengan omongan orang “pejabat kok kere” (pejabat kok miskin), namun ia justru bangga disebut pejabat kere daripada pejabat kok korupsi. Hal inilah yang dialami oleh Budidarmo. Kakek tua ini dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tekun bekerja oleh para koleganya seperti Mohammad Hasan (Kapolri 1971-1974). Sehingga tidak salah kalau Dai Bachtiar dalam ulang tahun ke 77 Widodo Budidarmo mengatakan “saya ingin semua orang meneladani Pak Wid, khususnya polisi”.
Sosok Budidarmo telah menjadi sosok yang membekas bagi kerabat, pimpinan, dan anak buahnya. Pribadi sepertinya sangat langka untuk era saat ini. Pak Wid telah memberikan contoh dan teladan yang mulia semasa menjabat sebagai Kapolri. Meski ia seorang Jenderal aktif, namun dia sama sekali tidak mau melindungi anak yang dikasihinya dari jeratan hukum, meskipun keluarga dan kerabatnya meminta untuk ditutupi. Seperti halnya Hoegeng, Pak Wid juga tidak memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk menyogok dirinya termasuk anak buahnya. Setiap Lebaran atau Natal, ia memilih tidak berada di rumah. Ia tahu acara seperti itu kadang digunakan orang tertentu untuk memberikan sesuatu yang menurut dia bukan pemberian wajar.
Saat ini, harusnya para pemimpin dan pejabat di negeri ini meneladani Pak Wid yang sedikit bicara, cepat bertindak, jujur, dan rendah hati. Kalau semua pemimpin bangsa (tidak Polri saja) meneladani Widodo Budidarmo, maka bukan hal yang mustahil hukum akan mudah ditegakkan di negeri ini.